Thursday, May 2, 2013

Korupsi Waktu

Seorang dosen saya pernah berkata dalam suatu forum yang saya ikuti beberapa waktu yang lalu. Beliau berkata bahwa belakangan ini sering memikirkan tentang return yang Ia terima apabila dibandingkan dengan output yang telah Ia kerjakan.

Setelah Ia mulai merenungkan hal tersebut, akhirnya sampailah pada suatu konklusi bahwa apa yang Ia terima tidaklah sebanding dengan apa yang telah Ia kerjakan. Surplus untuk "penerimaannya".

Ia merasa bahwa sebenarnya sallary yang ditetapkan atas kinerjanya dalam satu periode, adalah untuk mengajar dengan jatah jam mengajar yang telah ditentukan bersama dan berlaku untuk semua pihak. Namun terkadang sering sekali jam mengajar itu berkurang lantaran memang telah terselesaikannya kontrak perkuliahan untuk tatap muka hari itu. Bisa saja sebenarnya beliau meneruskan hingga waktu normal perkuliahan berakhir, namun terkadang juga mahasiswa yang mengingnkan untuk selesai dan di amini sang dosen. Bagai buah simalakama.

Hal tersebut sangat lumrah dan sering sekali terjadi dan dengan tanpa sadar kita tidak menghiraukan dampak yang ditimbulkan atas apa yang telah kita kerjakan. 

Korupsi waktu mungkin itu kata yang tepat untuk menggambarkan kejadian dari permasalahn tersebut. Korupsi sendiri menurut saya berdasarkan KBBI ialah penyelewengan kas negara atau setaranya yang digunakan untuk kepentingan pribadi atau kelompoknya yang tidak menciptakan suatu nilai tambah bagi masyarakat.

Dewasa ini makna dari korupsi sendiri meluas dari makna aslinya. Korupsi tidak hanya terjadi dengan menggelapkan uang, bisa saja dengan gratifikasi, menerobos traffictlight dan markah jalan, bahkan memangkas jam mengajar yang telah ditentukan bisa juga dimasukkan kategori korupsi.

Sebagai seorang pendidik saya pun akan sangat sering melakukan hal demikian. Misalnya ketika ditetapkan bahwa tiap tatap muka dilakukan dalam waktu 120 menit dengan fee 300.000 tiap tatap muka. Maka sejatinya setiap menitnya kita akan dibayar dengan 2.500. Lalu apakah 120 menit yang menjadi amanah kita tersebut telah kita dayagunakan secara penuh.

Ketika kita mengakhiri tugas mengajar 10 menit lebih awal, maka kita hanya menggunakan 110 menit saja dari waktu normal yang ditentukan dan seharusnya yang kita berhak terima ialah hanya 2.500 x 110 = 275.000, bukan 300.000 untuk setiap tatap muka.

Berarti ada 25.000 dari fee yang kita dapat yang sejatinya idak berasal dari apa yang kerjakan. Dalam sebulan, misal ada 25 hari, maka akan terakumulasi menjadi 625.000 yang bukan berasal dari keringat sendiri. Itu jika hanya 10 menit yang kita lepas. Inilah yang saya namakan uang uang siluman, karena wujudnya tampak namun asal muasalnya tak tampak.

Kemudian bagaimanakah hukumnya jika kita mengambil uang siluman tersebut, apakah salah? Insya Allah tidak! Bagaimana dengan kinerja kita yang kurang dari kesepakatan yang telah ditetapkan, salahkah? Insya Allah ya!

Kesalahan terjadi ketika kita tidak menjalankan atau hanya menjalankan sebagian dari apa yang mutlak telah menjadi amanah bagi kita, namun menerima keseluruhan upah atas apa yang telah dijanjikan kepada pribadi kita adalah hak kita dan boleh, selama tidak keseluruhan amanah yang kita emban dilalaikan, serta kelalaian tersebut tidak disengaja untuk kepentingan pribadi. Misal menyudahi jam kerja bukan lantaran tugas sudah terselesaikan, namun karena hendak menonton pertandingan bola yang itu tidak ada hubungannya sama sekali dengan tugas yang kita kerjakan.

Akan tetapi secara moral akan terasa sangat mengusik hati bilamana kita terima uang siluman tersebut. Sesungguhnya perasaan terusik itu muncul karena hati kita yang ingin selalu menjaga kesucian dan kebersihan tentang apa-apa yang akan masuk ke diri dan keluarga kita. Kebenaran sejati hanya ada pada sutradara dunia yang telah memaktubkan semua peristiwa jauh diatas kepala.

No comments:

Post a Comment